BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pada banyak satuan permukaan,
perairan laut dan daratan merupakan ruang yang relatif dominan dengan berbagai
pola permukiman. Dari sekian banyak permukiman perairan laut dan daratan, salah
satu diantaranya adalah Suku Maybrat Imian Sawiat di Kabupaten Sorong Selatan
Papua.
Secara geografis suku
Maybrat hidup di distrik Ayamaru, Aitinyo, Aifat. Suku Imian Sawiat hidup
di distrik Sawiat dan Teminabuan. Distrika Ayamaru, Aitinyo, Aifat dan Sawiat
termasuk bagian dari Kabupaten Sorong Selatan yang beribukotanya di Teminabuan.
Distrik Ayamaru terletak di sebelah selatan dari Kabupaten Sorong Selatan.
Distrik Aitinyo terletak di sebelah Timur dari Kabupaten Sorong Selatan, Aifat
terletak sebelah Timur Kabupaten Sorong Selatan dan bersebelahan dengan Distik
Aitinyo dan Distrik Sawiat terletak di sebelah Barat Kabupaten Sorong Selatan,
dengan tipe iklim tropis basah, dan di dominasi oleh penduduk dengan mata
pencaharian Petani, Nelayan dan pemburu. Dari aktivitas yang heterogen ini
ditunjang oleh rumah panggung & rumah gantung dengan material pendukung
umumnya berasal dari alam, dan berdiri atas perairan bagi para nelayan, dan
bagi para petani struktur bangunan berdiri diatas permukaan tanah maupun di
atas pohon.
Aifat adalah Nama Sebuah Distrik yang didiami oleh Sub Suku
Bangsa Maybrat. Anak suku yang mendiami Distrik ini adalah May Maka dan
Meyah. Letaknya di bagian kepala burung pulau Papua, termasuk Kabupaten
Maybrat (Bagian Selatan Kabupaten Sorong). Suku ini merupakan anak suku dari
sub suku Bangsa Maybrat, Suku Bangsa Bonberai.
Penghuni pemukiman ini adalah
merupakan etnik yang terdiri dari satu suku besar yaitu suku Maybrat, dan dua
anak suku yaitu Imian, Sawiat. Mata pencaharian pokoknya berkebun, menangkap
ikan dengan perahu dan memburu binatang liar dengan Tombak, Jubi, Panah, Parang
dan Anjing. Suku ini mayoritas sebagai suku bangsa petani dan pemburu, yang
telah mengembangkan pertanian serta cara perburuan mereka sejak beberapa abad
lamanya, sehingga dikenal dengan sebutan manusia petani dan pemburu“.
Sebagai manusia petani dan
pemburu, mereka melakukan segala aktivitas dan menghabiskan hidupnya dengan
bercocok tanam dan memburu. Kemudian sejalan dengan bertambahnya waktu, manusia
petani - pemburu ini menetap dalam suatu hunian dan berkelompok membentuk suatu
permukiman (urban space), namun budaya bertani dan memburu masih mempengaruhi
kehidupan mereka sampai sekarang.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah Maybrat ?
2. Bagaimana Tempat Tinggal Nenek Moyang Suku Maybrat-Aifat
?
3. Bagaimana Mata Pencaharian Suku Maybrat- Aifat ?
C. Tujuan
Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk
mengetahui :
1 Sejarah Maybrat .
2. Tempat Tinggal Nenek Moyang Suku Maybrat-Aifat.
3. Mata Pencaharian Suku Maybrat- Aifat .
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Maybrat
Dari asal – usulnya? Para tetuah
suku Maybrat Imian Sawiat dari turun temurun mempunyai ceritera tentang rumah
tradisional suku Maybrat Imian Sawiat. Dari riwayat menceriterakan bahwa
arsitektur tradisional suku Maybrat Imian Sawiat pertama kali dibangun oleh dua
orang moyang pada berabad tahun silam, kedua orang tersebut adalah too dan sur
, yang mana too dikenal dengan sebutan untuk tali dan sur dikenal dengan
sebutan untuk kayu. Dari ceriteranya rumah tradisional maybrat imian sawiat
dibangun dengan mengikuti cara burung membuat sarangnya (ru habe) yang mana
ketika itu moyang yang bernama ‘sur’ duduk dan memperhatikan burung tersebut
dengan cekatan membawa dahan – dahan kayu untuk membuat sarangnya di atas pohon
yang rindang, lalu muncullah ide bahwa ‘masa, burung saja bisa membuat rumah
untuk dia lalu kenapa saya tidak’? pertanyaan ini muncul karena kehidupan
awalnya mereka menggunakan gua-gua sebagai tempat tinggal utama.
Ketika lama memperhatikan burung
tersebut maka ia (sur) bertekad ingin membuat rumah, lalu ia mulai menebang
kayu untuk digunakan dalam membuat rumah, setelah menebang kayu ia mencoba
untuk membuatnya setelah ia (sur) meletakannya pada pohon yang digunakan
sebagai koloum dengan pemikiran bahwa akan kuat sehingga ia melepaskannya untuk
mengangkat sebelahnya lagi namun ketika dilepas ternyata jatuh, tetapi ia
mencobanya berulang kali sampai-sampai ia (sur) berusaha untuk memanjat pohon
yang digunakan burung untuk membuat sarangnya dengan tujuan untuk melihat
secara dekat bagaimana cara meletakan ranting kayu hingga menjadi kuat. Ketika
ia (sur) memanjati pohon itu dan mencobanya berulang kali namun hasilnya tidak
sempurna maka datanglah saudaranya yang bernama “too” dan memberi masukan bahwa
anda tidak bisa meletakkannya dengan begitu saja melainkan harus menggunakan
tali yang saya bawa agar bisa kuat, namun usulannya tidak diterima atau
di abaikan oleh sur dengan keyakinan bahwa ia bisa membangunnya tanpa
tali. Namun dengan segala macam cara yang digunakannya tak ada satupun yang
berhasil lalu ia memutuskan untuk menerima usulan saudaranya tadi, dan ketika
ia menggunakan talinya sebagai pengikat ternyata berhasil, lalu ia mengajak
saudaranya (too) bahwa saudara mari kita berdua harus buat suatu rumah bagi
kita seperti burung itu, sur menawarkan kepada too sambil menunjukkan sarang
burung yang berada diatas dahan pohon, dan too pun menerimanya lalu mereka
berdua mulai membuat rumah bagi mereka untuk pertama kalinya. Disinilah sejarah
asal usul rumah tradisional suku maybrat imian sawiat dibangun.
Tidak ada orang yang mengetahui
dengan pasti tempat sebenarnya dimana pertamakali kejadian itu (pertamakali
membuat rumah), namun secara menyeluruh diungkapkan adalah diantara wilayah
maybrat atau imian atau sawiat, namun disini kita bisa menebak wilayahnya
adalah diwilayah maybrat, alasannya karena nama kedua orang pencetus/pembuat
rumah ini menggunakan bahasa maybrat sehingga dapat disimpulkan bahwa
kejadiannya terjadi di wilayah maybrat. Menurut ungkapan para tetua bahwa rumah
tradisional orang Maybrat Imian Sawiat sudah ada berabad tahun yang lalu.
B. Tempat Tinggal
Nenek Moyang Suku Maybrat-Aifat
Diatas telah disebutkan bahwa
rumah leluhur Suku Maybrat Imian Sawiat dibuat dari bahan kayu dan rotan.
Hal itu memang dibenarkan dengan suatu pembuktian sebagaimana adanya bukti –
bukti otentik sertaa dengan sebutan nama too (rotan) dan sur (kayu), dan bila
dikaji secara jauh kebelakang pada jaman sebelumnya orang-orang maybrat imian
sawiat membutuhkan tempat tinggal untuk menanggulangi diri dan keluarga, baik
dari hujan, binantang buas, maupun dari para musuh. Mau tidak mau mereka harus
berpikir secara praktis dengan berbagai cara telah dilalui guna bertahan hidup,
maka pada jaman kuno orang – orang maybrat imian sawiat memanfaatkan gua – gua
(isra) sebagai tempat tinggal dimana gua – gua itu sebenarnya lebih mirib
dengan ceruk – ceruk didalam batu karang yang dapat dipakai untuk berteduh.
Hingga saat ini belum adanya
penelitian tentang gua – gua yang dahulu digunakan sebagai tempat melindungi
diri. Disamping gua – gua, adapula benda-benda pusaka lainnya yang diwariskan
nenekmoyang mereka yang hingga kini masih disimpang. Barang – barang warisan
tersebut adalah : parang ‘hrambra’, parang ini menurut ceritera tetuah bahwa
merupakan pemberian dari alam ‘tagio’ dan hingga kini tidak diketahui siapa
pembuat parang tersebut, berikut taring naga ‘safah’, taring naga yang di
jumpai membentuk lingkaran cyrus, dan taring babi ‘way’, taring babi membentuk
huruf C, peninggalan – peninggalan tersebut dipercaya mempunyai nilai-nilai
yang sangat tinggi.
C. Mata Pencaharian
Suku Maybrat- Aifat
Kegiatan
berburu merupakan kegiatan sampingan yang dilakukan oleh suku Maybrat yang
bertujuan untuk memenuhi kebutuhan akan protein dan daging dalam keluarga. Mata
pencarian hidup yang utama dari orang
Maybrat adalah bercocok tanam secara berpindah-pindah. Sistem ladang berpindah
adalah sistem yang berlaku secara umum di tanah Papua bagi masyarakat yang
berada pada daerah pedalaman dan pegunungan.
perburuan
satwa oleh masyarakat asli di Papua menggunakan peralatan buru
tradisional. Penggunaan alat buru busur
dan panah, tombak, dan berburu dengan menggunakan anjing pemburu merupakan
teknik perburuan yang dilakukan, bervariasi tergantung pada jenis satwa yang
diburu dan tingkat kesulitan untuk berburu satwa dimaksud. Di tiap daerah juga
berbeda menurut kebiasaan dan praktek yang biasa dilakukan masyarakat setempat.
Pewarisan
ilmu berburu kurang banyak peminatnya karena selain membutuhkan waktu yang
relatif lama, adanya pergeseran penggunaan alat buru modern juga merupakan
salah satu faktor penyebabnya. Karena
itu menurut Uniyal et al,(2003)
perubahan gaya hidup dan kondisi sosial ekonomi keluarga ikut mempengaruhi
praktek-praktek tradisional yang biasanya dianut oleh masyarakat setempat. Stearman (2002) menjelaskan bahwa semakin
menurunnya praktek perburuan tradisional dan diganti dengan perburuan modern
mengakibatkan kepunahan atau kehilangan lokal jenis satwa tertentu.
Oleh
karena itu penggunaan alat buru tradisional merupakan salah satu praktek
kearifan tradisional yang dapat diaplikasikan guna menunjang kelestarian
satwa. Tetapi pendapat ini merupakan hal
yang selama ini diperdebatkan, karena studi di berbagai tempat membuktikan
bahwa perburuan subsistesnce ikut memberikan kontribusi terhadap penurunan
populasi jenis satwa tertentu yang menjadi sasaran perburuan sehingga perburuan
tidak lagi ”sustainable”. Kondisi ini
lebih dikenal dengan fenomena ”empty forest” (Redford, 1992).
Lokasi berburu suku Maybrat
masih terbatas pada tiap wilayah klen atau berdasarkan hak ulayat yang jelas. Batas-batas tersebut
secara tegas dan sadar dipahami oleh masyarakat anggota klen tersebut sehingga
dalam melakukan kegiatan berburu mereka tidak boleh melintas atau melewati
batas-batas hak ulayat mereka.
Di lapangan, batas wilayah
ditemukan dalam bentuk sungai, lembah, kawasan hutan tertentu ataupun wilayah
yang disepakati secara bersama-sama. Perburuan satwa biasa dilakukan terbatas
pada wilayah klen mereka sendiri. Lokasi perburuan biasanya mempunyai kaitan
yang erat dengan jenis satwa yang diburu.
Karena itu pemahaman tentang lokasi berburu akan semakin baik seiring
dengan intensitas berburu seseorang.
Semakin sering berburu akan semakin meningkatkan pengenalan lokasi
berburu yang semakin baik. Karena setiap klen/marga telah secara tegas
menyadari dan mengetahui batas tersebut sehingga dalam proses perburuan mereka
tidak melanggar batas-batas tersebut.
Apabila seseorang melanggar aturan yang telah ditetapkan oleh
kuyanes/raemanas dari masing-masing suku, maka klen atau marga yang hak
ulayatnya dilanggar akan melakukan tindakan denda dengan kain-kain yang disebut
” kain timur”.
Suku Maybrat memiliki tempat-tempat keramat yang dipercaya
mengatur, melindungi dan bisa mencelakai mereka jika merusak atau melakukan
tindakan yang bertentangan dengan adat-istiadat
setempat. Tempat keramat mempunyai nilai histori bahkan asal-usul suku
tertentu berasal dari tempat keramat tersebut. Tempat keramat juga berfungsi
sebagai tempat penyembahan, syukuran bahkan tempat penyelesaian sengketa yang
terjadi dalam hubungan sosial kemasyarakatan. Tempat keramat biasanya adalah
lokasi atau wilayah tertentu yang secara turun temurun dipercayai sebagai
tempat yang harus dijaga dan dilindungi oleh seluruh lapisan masyarakat.
Terkadang pemburu pemula yang
baru memulai aktivitas perburuan memerlukan ijin atau restu dari
kuyanes/raemanas dalam bahasa Maybrat yang berarti orang besar/yang dituakan
dalam marga/klen. Karena kuyanes/raemanas inilah yang akan memberitahukan
tempat-tempat yang boleh dilakukan perburuan maupun tidak boleh dimana dalam
batas wilayah klen/marga terdapat tempat- tempat keramat dan tidak boleh
diganggu karena disitu bersemayam nenek moyang mereka.
Namun demikian, sejalan dengan
perkembangan pembangunan di wilayah Kepala Burung Papua melalui pengembangan
sejumlah jaringan jalan yang menghubungkan Manokwari dan Sorong, dikuatirkan
sejumlah wilayah yang tadinya terisolasi akan terbuka dan semakin mudah
diakses. Konsekuensinya, wilayah yang
menjadi ulayat kelompok etnik tertentu tidak lagi eksklusif untuk mereka,
tetapi dapat diakses oleh setiap orang yang melintasi wilayah tersebut.
Jenis hewan buruan suku Maybrat
adalah babi hutan (Suidae), kuskus (Phalangeridae), tikus tanah, soa-soa
(Varanidae), rusa (Cervidae), maleo (Megepodiidae), kasuari (Casuaridae) dan
mambruk (Columbidae). Pada kelompok
etnik Maybrat, tingkat pemanfaatan yang tinggi umumnya ditemukan pada jenis satwa
yang dapat dikonsumsi oleh masyarakat.
Dengan kata lain jenis satwa yang umumnya diburu umumnya utuk tujuan
dikonsumsi seperti jenis mamalia dan burung.
Pada suku Maybrat khususnya
kelompok masyarakat Ayfat melalui proses perdagangan terjadi proses tukar
menukar barang berharga lainnya seperti gelang-gelang dari kulit siput, gigi
taring buaya dan babi (yang tumbuh melengkung), bahan-bahan, kalung kalung dan
ikat pinggang yang dihiasi dengan manik-manik dari jenis yang istimewa,
khususnya pisau yang berhias dan burung cenderawasih. Taring babi dan buaya
yang diperoleh dari hasil berburu biasanya di jemur diatas perapian di dapur
atau dijemur dipanas sampai kering dan dipasang pada tali sebagai kalung untuk
digunakan oleh kaum laki-laki remaja dan dewasa. Sangat jarang menemukan
kegiatan perdagangan melalui transaksi khusus di pasar-pasar tradisional.
Kegiatan perdagangan melalui
proses barter ini juga banyak terjadi untuk keperluan sosial budaya diantara
sesama kelompok etnik. Hal ini cukup
beralasan, karena penggunaan bagian tubuh satwa sebagai asesories pakian adat
sangat umum. Bulu burung kasuari
(Casuaridae), mambruk (Columbidae) dan maleo (Megapodiidae) biasanya buat
sebagai hiasan kepala yang akan digunakan pada upacara adat seperti kelahiran,
kematian atau upacara permohonan untuk diberikan keberhasilan dalam berburu.
Dalam penyelenggaraan upacara adat yang melibatkan banyak orang, penggunaan
asesories dari bagian tubuh hewan seperti bulu burung, kuskus ataupun taring
babi dari hasil buruan memberikan warna dan penampilan tersendiri pada pakaian
adat yang digunakan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Aifat adalah Nama Sebuah Distrik yang didiami oleh Sub Suku
Bangsa Maybrat. Anak suku yang mendiami Distrik ini adalah May Maka dan
Meyah. Letaknya di bagian kepala burung pulau Papua, termasuk Kabupaten
Maybrat (Bagian Selatan Kabupaten Sorong). Suku ini merupakan anak suku dari
sub suku Bangsa Maybrat, Suku Bangsa Bonberai.
Penghuni pemukiman ini adalah
merupakan etnik yang terdiri dari satu suku besar yaitu suku Maybrat, dan dua
anak suku yaitu Imian, Sawiat. Mata pencaharian pokoknya berkebun, menangkap
ikan dengan perahu dan memburu binatang liar dengan Tombak, Jubi, Panah, Parang
dan Anjing. Suku ini mayoritas sebagai suku bangsa petani dan pemburu, yang
telah mengembangkan pertanian serta cara perburuan mereka sejak beberapa abad
lamanya, sehingga dikenal dengan sebutan manusia petani dan pemburu“.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar