Kamis, 06 Agustus 2015

Suku Ayfat

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada banyak satuan permukaan, perairan laut dan daratan merupakan ruang yang relatif dominan dengan berbagai pola permukiman. Dari sekian banyak permukiman perairan laut dan daratan, salah satu diantaranya adalah Suku Maybrat Imian Sawiat di Kabupaten Sorong Selatan Papua.
Secara geografis suku Maybrat hidup di distrik Ayamaru, Aitinyo, Aifat. Suku Imian Sawiat hidup di distrik Sawiat dan Teminabuan. Distrika Ayamaru, Aitinyo, Aifat dan Sawiat termasuk bagian dari Kabupaten Sorong Selatan yang beribukotanya di Teminabuan. Distrik Ayamaru terletak di sebelah selatan dari Kabupaten Sorong Selatan. Distrik Aitinyo terletak di sebelah Timur dari Kabupaten Sorong Selatan, Aifat terletak sebelah Timur Kabupaten Sorong Selatan dan bersebelahan dengan Distik Aitinyo dan Distrik Sawiat terletak di sebelah Barat Kabupaten Sorong Selatan, dengan tipe iklim tropis basah, dan di dominasi oleh penduduk dengan mata pencaharian Petani, Nelayan dan pemburu. Dari aktivitas yang heterogen ini ditunjang oleh rumah panggung & rumah gantung dengan material pendukung umumnya berasal dari alam, dan berdiri atas perairan bagi para nelayan, dan bagi para petani struktur bangunan berdiri diatas permukaan tanah maupun di atas pohon.
Aifat adalah Nama Sebuah Distrik yang didiami oleh Sub Suku Bangsa Maybrat. Anak suku yang mendiami Distrik ini adalah May Maka dan Meyah. Letaknya di bagian kepala burung pulau Papua, termasuk Kabupaten Maybrat (Bagian Selatan Kabupaten Sorong). Suku ini merupakan anak suku dari sub suku Bangsa Maybrat, Suku Bangsa Bonberai.
Penghuni pemukiman ini adalah merupakan etnik yang terdiri dari satu suku besar yaitu suku Maybrat, dan dua anak suku yaitu Imian, Sawiat. Mata pencaharian pokoknya berkebun, menangkap ikan dengan perahu dan memburu binatang liar dengan Tombak, Jubi, Panah, Parang dan Anjing. Suku ini mayoritas sebagai suku bangsa petani dan pemburu, yang telah mengembangkan pertanian serta cara perburuan mereka sejak beberapa abad lamanya, sehingga dikenal dengan sebutan manusia petani dan pemburu“.
Sebagai manusia petani dan pemburu, mereka melakukan segala aktivitas dan menghabiskan hidupnya dengan bercocok tanam dan memburu. Kemudian sejalan dengan bertambahnya waktu, manusia petani - pemburu ini menetap dalam suatu hunian dan berkelompok membentuk suatu permukiman (urban space), namun budaya bertani dan memburu masih mempengaruhi kehidupan mereka sampai sekarang.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah Maybrat ?
2. Bagaimana Tempat Tinggal Nenek Moyang Suku Maybrat-Aifat ?
3. Bagaimana Mata Pencaharian Suku Maybrat- Aifat ?
C. Tujuan
Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui :
1 Sejarah Maybrat .
2. Tempat Tinggal Nenek Moyang Suku Maybrat-Aifat.
3. Mata Pencaharian Suku Maybrat- Aifat .


  
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Maybrat
Dari asal – usulnya? Para tetuah suku Maybrat Imian Sawiat dari turun temurun mempunyai ceritera tentang rumah tradisional suku Maybrat Imian Sawiat. Dari riwayat menceriterakan bahwa arsitektur tradisional suku Maybrat Imian Sawiat pertama kali dibangun oleh dua orang moyang pada berabad tahun silam, kedua orang tersebut adalah too dan sur , yang mana too dikenal dengan sebutan untuk tali dan sur dikenal dengan sebutan untuk kayu. Dari ceriteranya rumah tradisional maybrat imian sawiat dibangun dengan mengikuti cara burung membuat sarangnya (ru habe) yang mana ketika itu moyang yang bernama ‘sur’ duduk dan memperhatikan burung tersebut dengan cekatan membawa dahan – dahan kayu untuk membuat sarangnya di atas pohon yang rindang, lalu muncullah ide bahwa ‘masa, burung saja bisa membuat rumah untuk dia lalu kenapa saya tidak’? pertanyaan ini muncul karena kehidupan awalnya mereka menggunakan gua-gua sebagai tempat tinggal utama.
Ketika lama memperhatikan burung tersebut maka ia (sur) bertekad ingin membuat rumah, lalu ia mulai menebang kayu untuk digunakan dalam membuat rumah, setelah menebang kayu ia mencoba untuk membuatnya setelah ia (sur) meletakannya pada pohon yang digunakan sebagai koloum dengan pemikiran bahwa akan kuat sehingga ia melepaskannya untuk mengangkat sebelahnya lagi namun ketika dilepas ternyata jatuh, tetapi ia mencobanya berulang kali sampai-sampai ia (sur) berusaha untuk memanjat pohon yang digunakan burung untuk membuat sarangnya dengan tujuan untuk melihat secara dekat bagaimana cara meletakan ranting kayu hingga menjadi kuat. Ketika ia (sur) memanjati pohon itu dan mencobanya berulang kali namun hasilnya tidak sempurna maka datanglah saudaranya yang bernama “too” dan memberi masukan bahwa anda tidak bisa meletakkannya dengan begitu saja melainkan harus menggunakan tali yang saya bawa agar bisa kuat, namun usulannya tidak diterima atau di abaikan oleh sur dengan keyakinan bahwa ia bisa membangunnya tanpa tali. Namun dengan segala macam cara yang digunakannya tak ada satupun yang berhasil lalu ia memutuskan untuk menerima usulan saudaranya tadi, dan ketika ia menggunakan talinya sebagai pengikat ternyata berhasil, lalu ia mengajak saudaranya (too) bahwa saudara mari kita berdua harus buat suatu rumah bagi kita seperti burung itu, sur menawarkan kepada too sambil menunjukkan sarang burung yang berada diatas dahan pohon, dan too pun menerimanya lalu mereka berdua mulai membuat rumah bagi mereka untuk pertama kalinya. Disinilah sejarah asal usul rumah tradisional suku maybrat imian sawiat dibangun.
Tidak ada orang yang mengetahui dengan pasti tempat sebenarnya dimana pertamakali kejadian itu (pertamakali membuat rumah), namun secara menyeluruh diungkapkan adalah diantara wilayah maybrat atau imian atau sawiat, namun disini kita bisa menebak wilayahnya adalah diwilayah maybrat, alasannya karena nama kedua orang pencetus/pembuat rumah ini menggunakan bahasa maybrat sehingga dapat disimpulkan bahwa kejadiannya terjadi di wilayah maybrat. Menurut ungkapan para tetua bahwa rumah tradisional orang Maybrat Imian Sawiat sudah ada berabad tahun yang lalu.
B. Tempat Tinggal Nenek Moyang Suku Maybrat-Aifat
Diatas telah disebutkan bahwa rumah leluhur Suku Maybrat Imian Sawiat dibuat dari bahan kayu dan rotan. Hal itu memang dibenarkan dengan suatu pembuktian sebagaimana adanya bukti – bukti otentik sertaa dengan sebutan nama too (rotan) dan sur (kayu), dan bila dikaji secara jauh kebelakang pada jaman sebelumnya orang-orang maybrat imian sawiat membutuhkan tempat tinggal untuk menanggulangi diri dan keluarga, baik dari hujan, binantang buas, maupun dari para musuh. Mau tidak mau mereka harus berpikir secara praktis dengan berbagai cara telah dilalui guna bertahan hidup, maka pada jaman kuno orang – orang maybrat imian sawiat memanfaatkan gua – gua (isra) sebagai tempat tinggal dimana gua – gua itu sebenarnya lebih mirib dengan ceruk – ceruk didalam batu karang yang dapat dipakai untuk berteduh.
Hingga saat ini belum adanya penelitian tentang gua – gua yang dahulu digunakan sebagai tempat melindungi diri. Disamping gua – gua, adapula benda-benda pusaka lainnya yang diwariskan nenekmoyang mereka yang hingga kini masih disimpang. Barang – barang warisan tersebut adalah : parang ‘hrambra’, parang ini menurut ceritera tetuah bahwa merupakan pemberian dari alam ‘tagio’ dan hingga kini tidak diketahui siapa pembuat parang tersebut, berikut taring naga ‘safah’, taring naga yang di jumpai membentuk lingkaran cyrus, dan taring babi ‘way’, taring babi membentuk huruf C, peninggalan – peninggalan tersebut dipercaya mempunyai nilai-nilai yang sangat tinggi.
C. Mata Pencaharian Suku Maybrat- Aifat
Kegiatan berburu merupakan kegiatan sampingan yang dilakukan oleh suku Maybrat yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan akan protein dan daging dalam keluarga. Mata pencarian hidup yang utama dari  orang Maybrat adalah bercocok tanam secara berpindah-pindah. Sistem ladang berpindah adalah sistem yang berlaku secara umum di tanah Papua bagi masyarakat yang berada pada daerah pedalaman dan pegunungan.
perburuan satwa oleh masyarakat asli di Papua menggunakan peralatan buru tradisional.  Penggunaan alat buru busur dan panah, tombak, dan berburu dengan menggunakan anjing pemburu merupakan teknik perburuan yang dilakukan, bervariasi tergantung pada jenis satwa yang diburu dan tingkat kesulitan untuk berburu satwa dimaksud. Di tiap daerah juga berbeda menurut kebiasaan dan praktek yang biasa dilakukan masyarakat setempat.
Pewarisan ilmu berburu kurang banyak peminatnya karena selain membutuhkan waktu yang relatif lama, adanya pergeseran penggunaan alat buru modern juga merupakan salah satu faktor penyebabnya.  Karena itu menurut   Uniyal et al,(2003) perubahan gaya hidup dan kondisi sosial ekonomi keluarga ikut mempengaruhi praktek-praktek tradisional yang biasanya dianut oleh masyarakat setempat.  Stearman (2002) menjelaskan bahwa semakin menurunnya praktek perburuan tradisional dan diganti dengan perburuan modern mengakibatkan kepunahan atau kehilangan lokal jenis satwa tertentu.
Oleh karena itu penggunaan alat buru tradisional merupakan salah satu praktek kearifan tradisional yang dapat diaplikasikan guna menunjang kelestarian satwa.  Tetapi pendapat ini merupakan hal yang selama ini diperdebatkan, karena studi di berbagai tempat membuktikan bahwa perburuan subsistesnce ikut memberikan kontribusi terhadap penurunan populasi jenis satwa tertentu yang menjadi sasaran perburuan sehingga perburuan tidak lagi ”sustainable”.  Kondisi ini lebih dikenal dengan fenomena ”empty forest” (Redford, 1992).
Lokasi berburu suku Maybrat masih terbatas pada tiap wilayah klen atau berdasarkan hak   ulayat yang jelas. Batas-batas tersebut secara tegas dan sadar dipahami oleh masyarakat anggota klen tersebut sehingga dalam melakukan kegiatan berburu mereka tidak boleh melintas atau melewati batas-batas hak ulayat mereka.
Di lapangan, batas wilayah ditemukan dalam bentuk sungai, lembah, kawasan hutan tertentu ataupun wilayah yang disepakati secara bersama-sama. Perburuan satwa biasa dilakukan terbatas pada wilayah klen mereka sendiri. Lokasi perburuan biasanya mempunyai kaitan yang erat dengan jenis satwa yang diburu.  Karena itu pemahaman tentang lokasi berburu akan semakin baik seiring dengan intensitas berburu seseorang.  Semakin sering berburu akan semakin meningkatkan pengenalan lokasi berburu yang semakin baik. Karena setiap klen/marga telah secara tegas menyadari dan mengetahui batas tersebut sehingga dalam proses perburuan mereka tidak melanggar batas-batas tersebut.  Apabila seseorang melanggar aturan yang telah ditetapkan oleh kuyanes/raemanas dari masing-masing suku, maka klen atau marga yang hak ulayatnya dilanggar akan melakukan tindakan denda dengan kain-kain yang disebut ” kain timur”.
Suku Maybrat memiliki  tempat-tempat keramat yang dipercaya mengatur, melindungi dan bisa mencelakai mereka jika merusak atau melakukan tindakan yang bertentangan dengan adat-istiadat  setempat. Tempat keramat mempunyai nilai histori bahkan asal-usul suku tertentu berasal dari tempat keramat tersebut. Tempat keramat juga berfungsi sebagai tempat penyembahan, syukuran bahkan tempat penyelesaian sengketa yang terjadi dalam hubungan sosial kemasyarakatan. Tempat keramat biasanya adalah lokasi atau wilayah tertentu yang secara turun temurun dipercayai sebagai tempat yang harus dijaga dan dilindungi oleh seluruh lapisan masyarakat.
Terkadang pemburu pemula yang baru memulai aktivitas perburuan memerlukan ijin atau restu dari kuyanes/raemanas dalam bahasa Maybrat yang berarti orang besar/yang dituakan dalam marga/klen. Karena kuyanes/raemanas inilah yang akan memberitahukan tempat-tempat yang boleh dilakukan perburuan maupun tidak boleh dimana dalam batas wilayah klen/marga terdapat tempat- tempat keramat dan tidak boleh diganggu karena disitu bersemayam nenek moyang mereka.
Namun demikian, sejalan dengan perkembangan pembangunan di wilayah Kepala Burung Papua melalui pengembangan sejumlah jaringan jalan yang menghubungkan Manokwari dan Sorong, dikuatirkan sejumlah wilayah yang tadinya terisolasi akan terbuka dan semakin mudah diakses.  Konsekuensinya, wilayah yang menjadi ulayat kelompok etnik tertentu tidak lagi eksklusif untuk mereka, tetapi dapat diakses oleh setiap orang yang melintasi wilayah tersebut.
Jenis hewan buruan suku Maybrat adalah babi hutan (Suidae), kuskus (Phalangeridae), tikus tanah, soa-soa (Varanidae), rusa (Cervidae), maleo (Megepodiidae), kasuari (Casuaridae) dan mambruk (Columbidae).   Pada kelompok etnik Maybrat, tingkat pemanfaatan yang tinggi umumnya ditemukan pada jenis satwa yang dapat dikonsumsi oleh masyarakat.  Dengan kata lain jenis satwa yang umumnya diburu umumnya utuk tujuan dikonsumsi seperti jenis mamalia dan burung.
Pada suku Maybrat khususnya kelompok masyarakat Ayfat melalui proses perdagangan terjadi proses tukar menukar barang berharga lainnya seperti gelang-gelang dari kulit siput, gigi taring buaya dan babi (yang tumbuh melengkung), bahan-bahan, kalung kalung dan ikat pinggang yang dihiasi dengan manik-manik dari jenis yang istimewa, khususnya pisau yang berhias dan burung cenderawasih. Taring babi dan buaya yang diperoleh dari hasil berburu biasanya di jemur diatas perapian di dapur atau dijemur dipanas sampai kering dan dipasang pada tali sebagai kalung untuk digunakan oleh kaum laki-laki remaja dan dewasa. Sangat jarang menemukan kegiatan perdagangan melalui transaksi khusus di pasar-pasar tradisional.
Kegiatan perdagangan melalui proses barter ini juga banyak terjadi untuk keperluan sosial budaya diantara sesama kelompok etnik.  Hal ini cukup beralasan, karena penggunaan bagian tubuh satwa sebagai asesories pakian adat sangat umum.  Bulu burung kasuari (Casuaridae), mambruk (Columbidae) dan maleo (Megapodiidae) biasanya buat sebagai hiasan kepala yang akan digunakan pada upacara adat seperti kelahiran, kematian atau upacara permohonan untuk diberikan keberhasilan dalam berburu. Dalam penyelenggaraan upacara adat yang melibatkan banyak orang, penggunaan asesories dari bagian tubuh hewan seperti bulu burung, kuskus ataupun taring babi dari hasil buruan memberikan warna dan penampilan tersendiri pada pakaian adat yang digunakan.


BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Aifat adalah Nama Sebuah Distrik yang didiami oleh Sub Suku Bangsa Maybrat. Anak suku yang mendiami Distrik ini adalah May Maka dan Meyah. Letaknya di bagian kepala burung pulau Papua, termasuk Kabupaten Maybrat (Bagian Selatan Kabupaten Sorong). Suku ini merupakan anak suku dari sub suku Bangsa Maybrat, Suku Bangsa Bonberai.
Penghuni pemukiman ini adalah merupakan etnik yang terdiri dari satu suku besar yaitu suku Maybrat, dan dua anak suku yaitu Imian, Sawiat. Mata pencaharian pokoknya berkebun, menangkap ikan dengan perahu dan memburu binatang liar dengan Tombak, Jubi, Panah, Parang dan Anjing. Suku ini mayoritas sebagai suku bangsa petani dan pemburu, yang telah mengembangkan pertanian serta cara perburuan mereka sejak beberapa abad lamanya, sehingga dikenal dengan sebutan manusia petani dan pemburu“.






DAFTAR PUSTAKA



Tidak ada komentar:

Posting Komentar